Piala Dunia baru saja berakhir. Telah lahir juara dunia yang baru, Spanyol yang mengalahkan Belanda 1 0 di final lewat gol Iniesta. Pertandingan yang penuh dengan kartu kuning dan satu kartu merah serta berbagai pelanggaran serta keputusan wasit yang dicap kontroversial mewarnai pertandingan ini. Suatu suka cita bagi pendukung Spanyol, namun tidak bagi pendukung Belanda.
Saya termasuk pendukung Belanda. Pertama kali saya tertarik dengan tim ini adalah ketika Euro 2008 belum dimulai. Saat itu bursa taruhan beramai-ramai mengunggulkan negara-negara lain seperti Italia, Prancis, dan Jerman. Saya melihat adanya harapan bagi Belanda untuk menjadi kuda hitam. Saya suka dengan permainan mereka. Sangat menawan.
Di awal Euro 2008, prediksi saya terlihat tepat. Belanda dengan indahnya menghancurkan dominasi Italia dan Prancis. Mereka pun melenggang ke babak selanjutnya. Sempat membesar harapan dari saya bahwa Belanda akan memenangkan Euro.
Namun semuanya hancur di perempatfinal. Belanda kalah oleh Rusia lewat gol Arshavin di perpanjangan waktu. Belanda bahkan tidak masuk semifinal.
Ketika peluit panjang berbunyi, ada gundukan yang rasanya menyesakkan dalam diri saya. Tim yang saya dukung belum pernah menjadi juara (Saya adalah pendukung Inter sejak 1998). Apakah karena saya yang di kehidupan nyata ini memang berlabel "pecundang" ? Apakah karena saya menjadi salah satu pendukungnya?
Meski saya tidak memiliki hubungan apa pun dengan Belanda, saya merasa begitu sakit. Bukan karena saya sangat mencintai Belanda, bukan. Saya hanya merasa, saya bukanlah orang yang beruntung. Saya selalu kalah. Bahkan saya telah lupa bagaimana rasanya kemenangan itu. Bahkan tim yang saya dukung pun harus mengikuti nasib saya.
Asa kembali menyembul ketika pada akhirnya Inter menjuarai Liga Champion setelah menunggu sekian lama. Sebagai Interisti, tentu saja saya sangat gembira. Ternyata inilah rasanya menjadi pemenang. Ternyata begitu menyenangkannya menjadi pemenang, mengangkat trophy juara, tersenyum gembira, tertawa, mendapat ucapan selamat dari banyak orang.
Di Piala Dunia, saya pun mendukung dua negara, Belanda dan Brazil. Saya juga menggemari Brazil sejak PD 2002. Ketika kedua negara itu harus berhadapan, ternyata hati saya lebih condong ke Belanda. Belanda pun menang dan akhirnya mampu menembus final.
Semua orang mengunggulkan Spanyol, termasuk si Gurita ajaib. Namun, saya tetap percaya pada Belanda. Saya tetap mendukung Belanda. dan ketika Spanyol memasukkan gol, saya adalah orang yang pertama terdiam dan tidak mampu berkata apa-apa. Lagi dan lagi. Tim yang kudukung harus kalah lagi. Padahal tinggal selangkah lagi.
Tapi apakah saya akan berhenti mendukung Belanda? Mungkin. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi di masa yang akan datang, tapi hingga saat ini, hati saya tetap pada Belanda.
Mendukung suatu tim harus dari hati, bukan mendukung karena suatu tim diunggulkan, bukan karena suatu tim banyak pemain hebat, tapi karena kita mencintai tim itu. Hanya itu alasannya. Mungkin hal itu sama juga dengan kehidupan nyata. Kita mencintai sesuatu bukan karena sesuatu itu menarik bagi banyak orang, tapi karena sesuatu itu menarik di hati kita.
Suatu saat nanti, Belanda pasti akan menjadi juara dunia dan saya harap hingga saat itu terjadi, aku masih menjadi saksi hidup dan dapat turut merasakan kegembiraan kemenangan itu.
Apa yang dapat seorang pecundang lakukan lagi? Hanya terus berlatih dan berlatih dan berharap suatu saat ia akan menjadi seorang pemenang. Ia pun sangat berharap keajaiban terjadi, tapi ia sadar, ia bukan orang yang begitu beruntungnya dapat memperoleh keajaiban. Ia tidak bisa bergantung pada keajaiban.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar